Contoh Cerpen Singkat Lengkap
Contoh Cerpen Singkat -
Cerpen / cerita pendek (short story) adalah jenis karya sastra yang
memaparkan kisah atau cerita tentang manusia dan seluk beluknya lewat
tulisan pendek. Cerpen pertama kali dikenalkan oleh pengarang-pengarang
Amerika. Cerita pendek bermula pada tradisi penceritaan lisan yang
menghasilkan kisah-kisah terkenal seperti Iliad dan Odyssey karya Homer.
Cerpen singkat
Kisah-kisah tersebut disampaikan dalam bentuk puisi yang berirama,
dengan irama yang berfungsi sebagai alat untuk menolong orang untuk
mengingat ceritanya. Bagian-bagian singkat dari kisah-kisah ini
dipusatkan pada naratif-naratif individu yang dapat disampaikan pada
satu kesempatan pendek. Keseluruhan kisahnya baru terlihat apabila
keseluruhan bagian cerita tersebut telah disampaikan.
Arti Sebuah Waktu
Alkisah ada seorang wanita yang hidup di sebuah desa terpencil, dia
ingin pergi kerja ke kota agar dia bisa mengoprasi wajahnya. Kemudian
dia mengutarakan keinginannya untuk kerja di kota kepada kedua orang
tuanya, tapi keinginannya tersebut di tolak oleh kedua orang tuanya.
Mendengar kata kedua orang tuanya yang menolak keinginannya dia pun
menangis, tapi tak berapa lama kemudian ibunya datang menghampiri dia.
Dan tiba-tiba ibunya bilang “Kamu boleh pergi ke kota nak”.
Mendengar perkataan ibunya dia pun tersenyum. Dan pagi harinya dia
bersiap-siap untuk pergi ke kota. Di tengah perjalanan yang lama dan
melelahkan dia istirahat di sebuah rumah, dan dia pun membayangkan, ”
andai ku bisa membangun rumah mewah dan dapat mengoprasi wajah ku yang
biasa menjadi luar biasa ini.” Tiba-tiba di tengah-tengah hayalannya
datang seorang nenek tua menghampirinya, dan bertanya “kenapa nak kamu
tersenyum sendiri?”
“Saya sedang membayangkan andaikan saja ku bisa sukses di kota dan dapat
mengoprasi wajahku ini”, kata dia. Dan nenek itu mengeluarkan jam kecil
dari kantongnya, kemudian nenek itu berkata “Kamu tinggal putar jam itu
sesuai dengan putaran jarum jam, bila kamu ingin segera meraih
cita-citamu”.
“Baik nek”, kata wanita tadi.
Kemudian tak berapa lama dia memutar jam tersebut sesuai dengan apa yang
dikatakan nenek tadi. Dan tiba-tiba dia bisa bekerja di sebuah
perusahaan ternama di Jakarta. Tapi dia tak puas dengan lamanya waktu
yang di perlukan agar bisa mengoprasi wajahnya.
Kemudian dia kembali memutar jam tersebut, dan wajahnya pun menjadi
cantik. Lagi-lagi dia kurang puas dengan wajahnya, dan kembali dia
memutar jam kecil pemberian nenek-nenek yang pernah dia temui sekali
lagi. Tapi setelah memutar jamnya dia mendapati wajahnya yang semula
cantik jelita menjadi tua dan keriput. Dan dia menyesal dengan keadaan
dia sekarang. Kemudian dia kembali menemui nenek-nenek yang memberi dia
jam di tempat di mana dia bertemu. Tapi dia tak melihat nenek tersebut
karena nenek itu telah lama meninggal. Dia pun hanya bisa menyesal dan
menangisi nasibnya.
Dua Wajah Ibu
Deru burung besi itu kian nyaring begitu melewati tempatnya berjongkok.
Ia menghentikan gerakan tangannya. Menggiring burung itu lenyap dari
mata lamurnya. Lalu, tangannya kembali menggumuli cucian pakaian yang
tak kunjung habis itu. Beberapa detik sekali, tangan keriputnya
berhenti, lalu ia menampari pipi dan kaki. Nyamuk di belantara beton
ternyata lebih ganas ketimbang nyamuk-nyamuk rimba yang saban pagi
menyetubuhi kulitnya saat menyadap karet nun jauh di pedalaman
Sumatera-Selatan sana: Tanah Abang.
Ia menarik napas, melegakan dada ringkihnya yang terasa kian menyempit.
Kicauan televisi tetangga menenggelamkan helaan napasnya. Suara musik,
iklan, dan segala hal. Perempuan itu kembali menghela napas. Lalu,
bangkit dari jongkoknya, menekan tuas sumur pompa. Irama air mengalir
dalam ritme yang kacau. Kadang besar, kadang kecil, seiring tenaganya
yang timbul-tenggelam. Air keruh memenuhi bak plastik, menindih-nindih
pakaian yang bergelut busa deterjen. Bau karet tercium menyengat begitu
air itu jatuh seperti terjun.
Ia adalah Mak Inang. Belum genap satu purnama perempuan tua itu
terdampar di rimba Jakarta, di antara semak-belukar rumah kontrakan yang
berdesak-desakan macam jamur kuping yang mengembang bila musim hujan di
kebun karetnya. Hidungnya pun belum akrab dengan bau bacin selokan
berair hitam kental yang mengalir di belakang kontrakan berdinding
triplek anak lanangnya. Bahkan, Mak Inang masih sering terkaget-kaget
bila tikus-tikus got Jakarta yang bertubuh hitam-besar lagi gemuk
melebihi kucing betinanya di kampung, tiba-tiba berlarian di depan
matanya.
Sesungguhnya, ia pun masih tak percaya bila terjaga dari lelapnya yang
tak pernah pulas, kalau akhirnya ia menjejakkan kaki di ibu kota Jakarta
yang kerap diceritakan orang-orang di kampungnya. Suatu tempat yang
sangat asing, aneh, dan begitu menakjubkan dalam cerita Mak Rifah, Mak
Sangkut, dan beberapa perempuan kampung karibnya, lepas
perempuan-perempuan itu mengunjungi anak bujang atau pun gadis mereka.
Sesuatu yang terdengar seperti surganya dunia. Serba mewah, serba manis,
serba tak bisa ia bayangkan.
”Kesinilah, Mak. Tengoklah anak lanangku, cucu bujang Emak. Parasnya
rupawan mirip almarhum Ebak,” itulah suara Jamal kepadanya beberapa
pekan silam. Suara anak lanangnya yang kemerosok seperti radio tua, ia
pun melipat kening saat mengetahui suara itu berasal dari benda aneh di
genggamannya.
”Dengan siapa Mak ke situ?” lontarnya. Ada keinginan yang menyeruak
seketika di dada Mak Inang. Keinginan yang sejatinya sudah lama
terpendam. Telah lama ia ingin melihat Jakarta. Ibu kota yang telah
dikunjungi karib-karibnya. Tapi, ia selalu tak punya alasan ke sana,
walau anak lanangnya, yang cuma satu-satunya ia miliki selain dua
gadisnya yang telah diboyong suami mereka di kampung sebelah, merantau
ke kota itu. Belum pernah Jamal menawarinya ke sana. Tak heran, ketika
petang itu Jamal memintanya datang, ia lekas-lekas menanggapinya.
”Tanyai Kurti, Mak. Kapan ia balik? Masalah ongkos, Mak pakai duit Emak
dululah. Nanti, bila aku sudah gajian, Emak kuongkosi pulang dan
kukembalikan ongkos Emak ke sini,” itulah janji anak lanangnya sebelum
mengakhiri pembicaraan. Suara kemerosok seperti radio tua itu terputus.
Mak Inang kembali menghela napas saat ingat percakapan lewat hape dengan
anak lanangnya itu. Beberapa pekan sebelum ia merasa telah tersesat di
rimba Jakarta, di semak-belukar kontrakan yang bergot bau menyengat. Ia
melepas tuas pompa, air berhenti mengalir. Tangannya menjangkau cucian,
membilasnya.
***
Kota yang panas. Itulah kesan pertama Mak Inang saat mata lamurnya
menggerayangi terminal bus Kampung Rambutan. Sedetik kemudian, ia
menambahkan kesan pertamanya itu: Kota bacin dan berbau pesing. Hidung
tuanya demikian menderita ketika membaui bau tak sedap itu. Hatinya
bertanya-tanya heran melihat Kurti demikian menikmati bau itu. Hidung
pesek gadis berkulit sawo matang itu tetap saja mengembang-embang,
seolah-olah bau yang membuat perut Mak Inang mual itu tercium melati.
Belum jua hilang rasa penat dan pusing di kepala Mak Inang, apalagi rasa
pedas di bokongnya, karena duduk sehari-semalam di bus reot yang
berjalan macam keong, beberapa orang telah berebut mengerubungi dirinya
dan Kurti, macam lalat, berdengung-dengung. Mak Inang memijit keningnya.
Cupingnya pun ikut pening dengan orang-orang yang berbicara tak jelas
pada Kurti, gadis itu diam tak menggubris, hanya menyeret Mak Inang
pergi.
Mak Inang kembali memeras beberapa popok yang ia cuci, sekaligus.
Telapak kaki kanannya yang kapalan cepat-cepat menampari betis kirinya
begitu beberapa nyamuk membabi-buta di kulit keringnya. Ia menghempaskan
popok yang sudah diperasnya itu ke dalam ember plastik. Jemari
tangannya menggaruk-garuk betis kirinya. Bentol-bentol sebesar biji
petai berderet-deret di kulit keringnya. Ia menggeram. Hatinya
menyumpah-serapah kepada binatang laknat tak tahu diri itu.
Dua-tiga hari pertama, Mak Inang cukup senang berada di rumah berdinding
batu setengah triplek Jamal. Rasa senangnya itu bersumber dari cucu
bujangnya yang masih merah itu. Walau, sesungguhnya Mak Inang
terkaget-kaget saat Kurti mengantarnya ke rumah Jamal. Semua di luar
otak tuanya. Dalam benaknya yang mulai ringkih, Jamal berada di
rumah-rumah beton yang diceritakan Mak Sangkut, bukan di rumah kecil
sepengap ini. Keterkejutannya kian bertambah saat perutnya melilit di
subuh buta. Hanya ada satu kakus untuk berderet-deret kontrakan itu. Itu
pun baunya sangat memualkan. Hampir saja Mak Inang tak mampu
menahannya.
”Mak hendak pulang, Mal. Sudah seminggu, nanti pisang Emak ditebang
orang, karet pun sayang tak disadap,” lontar Mak Inang di pagi yang tak
bisa ia tahan lagi. Ia benar-benar tak ingin berlama-lama di ibu kota
yang sungguh aneh baginya. Sesungguhnya, Mak Inang pun aneh dengan
orang-orang yang saban hari, saban minggu, saban bulan, dan saban tahun
datang mengadu nasib ke kota ini. Apa yang mereka cari di rimba
bernyamuk ganas, berbau bacin, bertikus besar melebihi kucing ini? Mak
Inang tak bisa menghabiskan pikiran itu pada sebuah jawaban.
”Akhir bulanlah, Mak. Aku gajian saban akhir bulan, sekarang tengah
bulan. Tak bisa. Pabrik juga tengah banyak order, belum bisa aku kawani
Mak jalan-jalan mutar Jakarta,” ujar Jamal sembari menyeruput kopi hitam
dan mengunyah rebusan singkong. Singkong yang Mak Inang bawa seminggu
silam. Mak Inang tak bersuara. Hatinya terasa terperas dengan rasa yang
kian membuatnya tak nyaman.
”Kurti libur hari ini, Mak. Katanya tengah tak ada lembur di pabriknya.
Nanti kuminta ia mengawani Mak jalan-jalan. Ke mal, ke rumah anak Wak
Sangkut dan Wak Rifah,” terdengar suara Mai, menantunya, dari arah dapur
yang pengap.
Mak Inang mengukir senyum semringah mendengar itu. Rasa tak nyaman yang
menggiring keinginannya untuk pulang mendadak menguap. Kembali cerita
Mak Rifah dan Mak Sangkut tentang Jakarta mengelindap. Gegas sekali
perempuan tua itu menyalin baju dan menggedor-gedor pintu kontrakan
Kurti. Gadis itu membuka pintu dengan mata merah-sembab, muka
awut-awutan dengan rambut yang kusut-masai. Mak Inang tak peduli mata
mengantuk Kurti, ia menggiring gadis itu untuk lekas mandi dan
menemaninya keliling Jakarta, melihat rupa wajah ibu kota yang selama
ini hanya ada dalam cerita karib sebaya dan pikirannya saja.
Serupa kali pertama Kurti mengantarnya ke muka kontrakan anak lanangnya,
seperti itulah keterkejutan Mak Inang saat menjejakkan kaki di
kontrakan anak Mak Sangkut dan Mak Rifah. Tak jauh berupa, tak ada
berbeda. Kontrakan anak karib-karibnya itu pun sama-sama pengap dan
panas. Hal yang membuat Mak Inang meremangkan kuduknya, gundukan sampah
berlalat hijau dengan dengungan keras, bau menyengat, tertumpuk hanya
beberapa puluh meter saja. Kepala Mak Inang berdenyut-denyut melihat
itu. Lebih-lebih saat menghempaskan pantatnya di lantai semen anaknya
Mak Sangkut. Allahurobbi, alangkah banyak cucu Mak Sangkut, menyempal
macam rayap. Berteriak, menangis, merengek minta jajan, dan tingkah pola
yang membuat Mak Inang hendak mati rasa. Hanya setengah jam Mak Inang
dan Kurti di rumah itu, berselang-seling cucunya Mak Sangkut itu
menangis.
Kebingungan Mak Inang pada orang-orang yang saban waktu datang ke
Jakarta untuk mengadu nasib kian besar saja. Apa hal yang membuat mereka
tergoda ke kota bacin lagi pesing ini? Segala apa yang ia lihat
satu-dua pekan ini, tak ada yang membuat hatinya mengembang penuh bunga.
Lebih elok tinggal di kampung, menggarap huma, membajak sawah,
mengalirkan getah-getah karet dari pokoknya, batin Mak Inang.
***
Tangan Mak Inang kembali menekan-nekan tuas pompa, air keruh dengan bau
karet yang menyengat kembali berjatuhan ke dalam bak plastik. Kadang
besar, kadang kecil, seiring dengan tenaganya yang timbul tenggelam.
Lagi, Mak Inang membilas cucian pakaian cucu, menantu, anak lanang, dan
dirinya sendiri. Mendadak Mak Inang telah merasa dirinya serupa babu. Di
petang temaram bernyamuk ganas, ia masih berkubang dengan cucian. Di
kampung, waktu-waktu serupa ini, ia telah bertelekung dan gegas membawa
kakinya ke mushola, mendahului muadzin yang sebentar lagi
mengumandangkan adzan.
Lampu benderang. Serentak. Seperti telah berkongsi sebelumnya.
Berkelip-kelip macam kunang-kunang di malam kelam. Lagi, terdengar suara
desingan tajam di atas ubun-ubun Mak Inang. Ia pun kembali mendongakkan
wajah, mata lamurnya melihat lampu merah, kuning, hijau berkelip-kelip
di langit temaram. Nyamuk-nyamuk pun kian ganas dan membabi-buta
menyerang kulit keringnya.
Wajah Mak Inang kian mengelap, hatinya menghitung-hitung angka di
almanak dalam benak. Berapa hari lagi menuju akhir bulan? Rasa-rasanya,
telah seabad Mak Inang melihat muka Jakarta yang di luar dugaannya.
Benak Mak Inang pun hendak bertanya: Mengapa kau tak pulang saja, Mal?
Ajak anak-binimu di kampung saja. Bersama Emak, menyadap karet, dan
merawat limas. Tapi, mulut Mak Inang terkunci rapat.
Malam di langit ibu kota merangkak bersama muka Mak Inang yang terkesiap
karena seekor tikus got hitam besar mendadak berlari di depannya.
Keterkejutan Mak Inang disudahi suara adzan dari televisi. Perempuan itu
kembali menekan tuas sumur pompa, air mengalir, jatuh ke dalam ember
plastik. Ia membasuh muka tuanya dengan wudhu. Bersamaan dengan itu,
mendadak gerimis turun, seolah ibu kota pun hendak mencuci muka kotornya
dengan wudhu bersama Mak Inang. Muka tua yang telah keriput, mengkerut,
dan carut-marut.
Sumber : http://berita-i.blogspot.com/2013/08/contoh-cerpen-singkat-lengkap.html
Sumber : http://berita-i.blogspot.com/2013/08/contoh-cerpen-singkat-lengkap.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar